MEMPERKUAT MODEL
PERENCANAAN DAERAH
(Studi kasus Kabupaten Halmahera Utara)
Sebagai
bagian dari sistim manajemen atau fungsi manajemen, perencanaan memiliki
peranan yang sangat besar dan bersifat mutlak. Sebagian besar dari tindakan
manusia didasarkan pada perencanaan, bahkan setiap tindakan manusia adalah
hasil dari sebuah proses pemikiran yang kompleks, dan perencanaan adalah bagian
yang tak terpisahkan dari proses tersebut.
Kita
semua menyaksikan, bahwa sebelum era desentralisasi, peran pemerintah pusat
sangat besar dalam menentukan arah dan sasaran pembangunan. Pemerintah daerah
hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan mengeliminasi
aspirasi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Namun,
setelah terjadinya perubahan paradigma pembangunan dimana pemerintah daerah
diberikan kewenangan yang luas, proses
perencanaan masih juga tidak luput dari permasalahan yang krusial dan signifikan. Reformasi
kelembagaan politik kepemerintahan belum berjalan dengan baik. Sistem perencanaan
belum dilandasi suatu dasar hukum yg kuat sehingga rule of the game belum
tercipta.
Ketiadaan
perangkat peraturan yang jelas dan mengikat membuat sistim perencanaan pembangunan
belum menghasilkan sinergitas dalam berbagai upaya pembangunan di berbagai tingkatan,
sektor dan daerah. Tetapi tentunya kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki
atau meluruskan kekeliruan kita selama ini. Disadari sepenuhnya bahwa dalam
Perencanaan selalu dipengaruhi oleh perkembangan politik pemerintahan, social
ekonomi dan teknologi, serta paradigma perencanaan itu sendiri, sehingga
diharapkan bahwa dalam perencanaan itu sendiri harus disusun sedemikian rupa
sehingga mampu merespon permasalahan social ekonomi dan politik yang berkembang
sangat dinamis.
Kay
and adler dalam Ernan Rustiadi dkk (2009), Perencanaan adalah suatu proses
menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan
tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Hal ini dapat dipahamai
bahwa setiap perencaan membutuhkan proses yang tentunya proses tersebut
tersebut terikat dengan waktu. Sebuah proses yang terikat dengan waktu tersebut
memaksa para perencana untuk bisa menentukan langkah yang tepat dengan
pemanfaaatan setiap sumber daya secara efektif dan efisisen. Dengan demikian kaitannya
dengan proses perencanaan pembangunan di daerah konsep dasar ini harusnya
dipahami dan diplikasikan dengan baik. Artinya, pemerintah daerah harus mampu
menentukan apa yang ingin dicapai pada masa akan dating tentuknya dengan
menetapkan langka-langka strategis dengan patokan waktu tertentu sehingga mudah
dievaluasi.
Dalam
Undang-undang no. 25 tahun 2004 tentang Sisitim Perencanaan Pembangunan
Nasional batasan mengenai Rencana pembangunan jangka Menengah (RPJM) adalah
dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. RPJM juga sering disebut
sebagai agenda pembangunan karena menyatu dengan agenda pemerintah yang sedang
menjabat sebagai kepala daerah. Visi pembangunan jangka panjang menjadi koridor
pem ri arah dan batasan pembangunan daerah jangka panjang yang dapat dijabarkan
dalam periode pembangunan yang lebih singkat.
Sesuai
dengan Undang-Undang Sisitim perencanaaan Pembangunan nasional bahwa RPJM
daerah ditetapkan melalui Peraturan kepala Daerah, apabila substansinya
merupakan rencana kerja lima tahun yang akan dijadikan acuan bagi pemerintah
daerah didalam penyelenggaraan pembangunan daerah, sesuai dengan penjabaran
visi, misi dan program prioritas dari kepala daerah terpilih dalam kurun waktu
lima tahun yang akan dating. Sementara itu menurut undang-undang No. 32 tahun
2004, RPJMD dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, apabila substansi RPJMD
terkait dengan pendanaan penyelenggaraan pembangunan daerah khususnya yang
terkait dengan sumber pendanaan APBD, yang harus dipertanggungjawabkan oleh kepala
daerah kepada lembafa legislative daerah (DPRD). Sehingga dapat dipahami bahwa
legalitas dari dokumen RPJM tergantung pada substansinya dan kesepakatan antara
pemerintah daerah dengan DPRD.
Pola
Perencanan Daerah
Skema
perencanaan pembangunan daerah terpusat pada Bappeda sebagai lembaga teknis
daerah yg diserahi tupoksi untuk mengawal perencanaan daerah. Sebagai instansi
perencana tentunya harus mampu mensinkronkan setiap program yang ada disetiap
dinas yang tersebar pada pemerintah
daerah.Sementara itu, masing-masing intansi yang memiliki program tentunya
memiliki juknis tersendiri mengingat untuk beberapa instansi teknis seperti
pertanian, kehutanan, pendidikan dan selanjutnya selalu disertai dengan regulasi
yang berbeda. Hal ini hanya coba menggambarkan secara nyata begitu rumitnya persoalan sinkronisasi
program pada instansi pemerintah daerah. Lain halnya dengan bagaimana upaya
pemerintah daerah untuk menghimpun aspirasi masyarakat lewat program yang coba
diterima dari bawah yang sering kita sebut groos root.
Musyawarah
Rencana Pembangunan Daerah (Musrembang) merupakan salah satu wadah yang
digunakan untuk menyaring aspirasi gross Root. Musrembang diharapkan mampu menjadi
wadah penyambung lidah masyarakat karena untuk beberapa waktu, masyarakat seperti
tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan daerah. Suatu model
perencanaan Bottom-Up yang coba dikembangkan akhir-akhir ini. Namun seiring
berkembangnya konsep-konsep perencanaan pembangunan, kaidah-kaidah perencanaan
bottom up sepertinya tidak memberikan hasil/dampak yang nyata untuk masyarakat.
Karena ternyata dalam tahapan musrembang desa, musrembang kecamatan, musrembang
kabupaten hingga musrembang provinsi, aspirasi masyarakat seperti tenggelam
dalam tiap tingkatan musrembang. Apa sebenarnya yang salah dalam tahapan
ini?padahal tahapan oleh musrembang ini melibatkan berbagai pihak pihak baik
dari pemerintah daerah (eksekutif – legislative), lembaga swadaya masyarakat, tokoh
masyarakat bahkan tokoh pemuda terlibat didalamnya.
Melihat
permasalahan diatas, sudah dapat dipastikan bahwa Bappeda sebagai pilar
perencanaan daerah harus bekerja keras dalam memecahkan persoalan ini.
Persoalan Regulasi perencanaan, Strategi Perencaanaan ditingkat instansi
Pemerintah Daerah, perencanaan ditingkat masyarakat akan menjadi beban yang
tidak mudah apalagi ditamb beban evaluasi kinerja dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Dikatakan beban karena sepertinya setiap laporan pertanggung
jawaban penyelenggaraan pemerintah daerah yang menjadi dokumen wajib evaluasi
harus dilaporkan secara rutin kepada pemerintah pusat. Ditambah lagi ketika
harus menghadapi persoalan problematic misalnya keterbatasan dana dan juga
permasalahan dinamika politik didaerah. Karena ternyata perencanaan dimaksud
sering terjebak dalam realitas politik.Dalam situasi tersebut, salah satu
tantangan dalam penyusunan dokumen perencanaan adalah menentukan program maupun
kegaitan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang berdasarkan skala
prioritas yang tepat.
Selain
penetapan prioritas masalah, PKKOD-LAN (2008) menyebutkan ada beberapa aspek
yang menadi bahan pertimbangan pertimbangan daerah sebelum membuat dokumen
perencanaan antara lain :
- Sumber Daya
(termasuk sumber daya alam) yang dimiliki.
- Kondisi Sosial
- Kebudayaan/adat
istiadat setempat
- Sumber Daya
manusia yang ada
- Tingkat
perekonomian masyarakat
- Tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Selanjutnya
disebutkan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada data dan
informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan (pasal 152 UU no. 32
Tahun 2004). Hal ini menyiratkan bahwa untuk menjamin pola perencanaan yang
baik, maka perlu diperhatikan persoalan-persoalan yang menajdi cirri khas suatu
daerah seperti yang terinci dalam keenam aspek perencaan diatas. Pemerintah
pusat seharusnya tidak menggenarkan setiap konsep perencaan kepada seluruh
pemerintah daerah.
Hal
menarik terjadi di Halmahera Utara, dimana sejak dimekarkan pada tahu 2003
belum memiliki dokumen perencanaan yang disahkan oleh oleh Kepala daerah bahkan
dibahas di DPRD. Dokumen RPJMD belum pernah tersusun dan terlegitimasi sehingga
pemerintah daerah tidak memiliki dasar hokum perencanaan. Namun pemerintahan
tetap berjalan hingga pada tahun 2008 pemerintah daerah bekerjasama dengan ITTC
suatu lembaga konsultan dibindang pengembangan sumber daya manusia menyusun
Grand Strategi Daerah untuk menjadi guidance
bagi pemerintah daerah. Lembaga ini
berhasil mengubah mind set pemerintah daerah dari instansi pemerintah daerah
memiliki kecenderungan organisasi dengan
panduan/ pedomans masing2 menjadi suatu organisasi pemerintah yang lebih networking. Hal ini ditandai dengan pemetaan urusan dinas yang
kemudian dibuat sebuah denah berupa jarring kerja yang teratur, penetapan
sasaran dan program pada masing-masing dinas yang mengerucut pada grand strtegi
daerah.
Pertanyaannya, dimana peranan RPJMD yang
seharusnya disusun oleh pemerintah daerah?apa yang harus dievaluasi oleh
pemerintah pusat jika RPJMD tidak disusun. Jawabnnya laporan evaluasi tetap
disampaikan namun diragukan keakuratan datanya. Karena indicator evaluasi dari
pemerintah pusat yang seharusnya mengevaluasi apa yang ada di RPJMD tidak dapat
tercapai. Sementara itu Bappeda Halmahera Utara yang seharusnya dapat mengukur
kinerja pemerintah daerah ternyata tidak mampu melakukannya karena hanya secara
formalitas sibuk mengurus dokumen evaluasi kinerja pemerintah daerah yang
begitu banyak seperti LPPD,LKPJ, LAKIP dstnya. Jadi prinsipnya laporan evaluasi
tersebut dapat terlaksana tetapi tidak akurat. Perencanaan daerah pun menjadi
terbengkali.
Jadi
sebetulnya yang perlu dilakukan peninjauan kembali bukan pada seberapa banayak
regulasi yang harus diubah atau ditambah, tetapi bagaimana melihat persoalan
yang sebenarnya yang ada dipemerintah daerah baik persoalan intern pemerintah
maupun eksternal pemerintah daerah. Apakah pemerintha daerah bias melakukan
inovasi dalam melakukan perencanaan. Karena seperti dicontohkan di Kabupaten
Halmahera Utara, Konsep Pengembangan sumber daya manusia melalui perubahan mind
set para aparatur lebih ampuh sehingga grans Strategi pemerintah daerah dapat
tersusun dengan baik, bahkan menajdi acuan sampai sekarang, meskipun RPJMD
kabupaten baru disahkan pada tahun 2011.
Kesimpulan
Mengelola
perencanaan pembangunan daerah adalah hal yang tidak mudah. Perlu ada
sinkronisasi antar pemerintah pusat dan daerah, sehingga capaian program, baik
nasional maupun daerah dapat secara merata dirasakan oleh masyarakat secara
luas. Lembaga teknis dalam hal ini Bappeda juga harus mampu mensinkronkan program
ditingkat instansi Pemerintah Daerah sehingga Program Prioritas ketika dalam
penjabarannya tidak tumpang tindih.Dari tulisan diatas paling tidak ada
beberapa hal yang harus menjadi kajian kembali antara lain :
- Regulasi
yang mendukujng perencanaan pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah
harus diperjelas, sehingga tidak ada salah tafsir dtingkat daerah.
- Penyusunan
perencanaan program yang menjadi prioritas hendaknya mempertimbangkan
aspek ekonomi, social politik setempat yang tetap mengedepakan kepentingan
masyarakat.
- Dimungkinkan
pemerintah daerah melakukan inovasi terhadap perencanaan daerah tanpa
terlalu merasa didikte oleh pemerintah pusat mengingat kewenagnan mengurus
dan mengatur rumah tangga pemerintah daerah juga diakui oleh undang-undang.
- Perlu
dilakukan kajian lebih lanjut terhadap dokumen yang seharusnya disusun
oleh pemerintah daerah sehingga tidak menjadi beban, bila perlu
dikembangkan suatu sisitim perencanaan yang secara terintegrasi dari pusat
sampai kedaerah.
Referensi :
- Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang sisitim Perencanaan Pembangunan Nasional
- Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Ernan
Rustiadi dkk, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Jakarta, 2011.
- PKKOD-LAN,
Manajemen Pemerintahan Daerah, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar